REGULASI INTERNASIONAL DAN NASIONAL TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

Pemanasan global telah menjadi isu lingkungan yang semakin mendesak dan menjadi perhatian serius bagi masyarakat global. Fenomena ini telah menyebabkan peningkatan suhu rata-rata Bumi selama beberapa dekade terakhir, dan penelitian ilmiah menunjukkan bahwa peningkatan suhu ini terkait erat dengan peningkatan emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2), di atmosfer. Emisi karbon yang berlebihan berasal dari berbagai aktivitas manusia, termasuk pembakaran bahan bakar fosil untuk energi dan transportasi, deforestasi, serta praktek-praktek pertanian tertentu. Emisi ini menyebabkan penumpukan gas-gas rumah kaca di atmosfer, yang bertindak seperti selubung, menahan panas matahari dan menyebabkan suhu Bumi naik secara bertahap.

Dampak pemanasan global yang semakin terasa telah menyebabkan perubahan iklim yang dramatis, seperti kenaikan permukaan laut, pencairan es kutub, pola cuaca yang ekstrem, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Efek ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mempengaruhi ekonomi, kesehatan, dan keberlanjutan sosial masyarakat di seluruh dunia. Dalam konteks ini, isu karbon menjadi fokus utama perdebatan dan tindakan global. Berbagai negara dan organisasi internasional telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon mereka melalui perjanjian internasional seperti Persetujuan Paris. Namun, meskipun ada kemajuan dalam menghadapi isu ini, tantangan tetap besar dalam mencapai target pengurangan emisi yang ambisius dan mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin meresahkan.

Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of the Parties, disingkat COP) adalah pertemuan tahunan yang dihadiri oleh negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, disingkat UNFCCC). Tujuan utama pertemuan ini adalah untuk membahas tindakan global dalam mengatasi perubahan iklim dan isu-isu terkait karbon dan emisi gas rumah kaca.

Berikut adalah inti dari Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP) dari COP 1 sampai dengan COP 26:

  • COP 1 (Berlin, Jerman, 1995): Inti dari COP 1 adalah memulai implementasi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang telah ditandatangani pada tahun 1992. Negara-negara anggota membahas peran dan tanggung jawab mereka dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan merespons perubahan iklim.
  • COP 2 (Geneva, Swiss, 1996): Inti dari COP 2 adalah menetapkan langkah-langkah lebih lanjut dalam mengimplementasikan UNFCCC, termasuk penyusunan protokol yang mengikat bagi negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
  • COP 3 (Kyoto, Jepang, 1997): Inti dari COP 3 adalah keberhasilan mencapai Kesepakatan Protokol Kyoto. Protokol ini menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca bagi negara-negara maju dan mengatur mekanisme fleksibilitas untuk mencapai target tersebut.
  • COP 4 (Buenos Aires, Argentina, 1998): Inti dari COP 4 adalah fokus pada implementasi Protokol Kyoto dan mekanisme pasar seperti CDM (Clean Development Mechanism) dan JI (Joint Implementation).
  • COP 5 (Bonn, Jerman, 1999): Inti dari COP 5 adalah melanjutkan pembahasan implementasi Protokol Kyoto dan persiapan untuk COP 6.
  • COP 6 (Den Haag, Belanda, 2000): Inti dari COP 6 adalah negosiasi yang kompleks dan sengit mengenai aturan pelaksanaan Protokol Kyoto dan masalah hubungan antara negara maju dan negara berkembang dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
  • COP 7 (Marrakech, Maroko, 2001): Inti dari COP 7 adalah penyelesaian perundingan mengenai aturan pelaksanaan Protokol Kyoto dan kesepakatan tentang mekanisme pembiayaan dan transfer teknologi.
  • COP 8 (New Delhi, India, 2002): Inti dari COP 8 adalah peningkatan upaya dalam mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca dan mendukung negara-negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim.
  • COP 9 (Milan, Italia, 2003): Inti dari COP 9 adalah peningkatan perhatian pada isu adaptasi terhadap perubahan iklim dan masalah deforestasi.
  • COP 10 (Buenos Aires, Argentina, 2004): Inti dari COP 10 adalah penekanan pada isu-isu pertanian dan perkebunan dalam konteks perubahan iklim.
  • COP 11 (Montreal, Kanada, 2005): Inti dari COP 11 adalah usaha untuk mencapai kesepakatan iklim global baru, namun negosiasi yang kompleks menyebabkan hanya menghasilkan “Pernyataan Montreal” yang belum mengikat.
  • COP 12 (Nairobi, Kenya, 2006): Inti dari COP 12 adalah meningkatkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim pada negara-negara berkembang dan penguatan aksi adaptasi.
  • COP 13 (Bali, Indonesia, 2007): Inti dari COP 13 adalah memulai negosiasi mengenai kerangka kerja yang baru setelah berakhirnya masa komitmen Protokol Kyoto pada tahun 2012.
  • COP 14 (Poznań, Polandia, 2008): Inti dari COP 14 adalah menetapkan langkah-langkah persiapan menuju kesepakatan iklim baru di COP 15.
  • COP 15 (Kopenhagen, Denmark, 2009): Inti dari COP 15 adalah usaha untuk mencapai kesepakatan iklim global baru, namun negosiasi yang kompleks menyebabkan hanya menghasilkan “Pernyataan Kopenhagen” yang tidak mengikat.
  • COP 16 (Cancun, Meksiko, 2010): Inti dari COP 16 adalah mencapai kesepakatan tentang Mekanisme Adiwiyata yang bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang.
  • COP 17 (Durban, Afrika Selatan, 2011): Inti dari COP 17 adalah mencapai kesepakatan tentang “Durban Platform for Enhanced Action” yang menetapkan kerangka kerja untuk negosiasi tentang kesepakatan iklim baru yang melibatkan semua negara.
  • COP 18 (Doha, Qatar, 2012): Inti dari COP 18 adalah mencapai kesepakatan tentang “Kedua Periode Komitmen” Protokol Kyoto yang menetapkan lanjutan pengurangan emisi bagi negara-negara maju.
  • COP 19 (Warsawa, Polandia, 2013): Inti dari COP 19 adalah meningkatkan pendanaan dan dukungan teknologi bagi negara-negara berkembang dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
  • COP 20 (Lima, Peru, 2014): Inti dari COP 20 adalah mempersiapkan dasar untuk kesepakatan iklim baru di COP 21 di Paris.
  • COP 21 (Paris, Prancis, 2015): Inti dari COP 21 adalah mencapai Kesepakatan Paris, di mana negara-negara sepakat untuk mencapai konsensus global tentang tindakan pengurangan emisi dan adaptasi untuk mencapai target membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celsius. Kesepatan ini menjadi satu – satunnya kesepakatan internasional yang telah diratifikasi oleh semua negara.
  • COP 22 (Marrakech, Maroko, 2016): Inti dari COP 22 adalah implementasi dan pelaksanaan Kesepakatan Paris dan penguatan kerjasama global dalam mengatasi perubahan iklim.
  • COP 23 (Bonn, Jerman, 2017): Inti dari COP 23 adalah memajukan pelaksanaan Kesepakatan Paris dan menguatkan peran aksi pemerintah lokal dalam mengatasi perubahan iklim.
  • COP 24 (Katowice, Polandia, 2018): Inti dari COP 24 adalah mengadopsi Pedoman Pelaksanaan Kesepakatan Paris yang mencakup langkah-langkah untuk melaksanakan komitmen pengurangan emisi dan mekanisme transparansi.
  • COP 25 (Madrid, Spanyol, 2019): Inti dari COP 25 adalah menyelesaikan perundingan mengenai aturan pelaksanaan Kesepakatan Paris dan meningkatkan ambisi negara-negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
  • COP 26 (Glasgow, Skotlandia, 2021): Inti dari COP 26 adalah fokus pada peningkatan ambisi global dalam mengurangi emisi karbon untuk mencapai tujuan Kesepakatan Paris dan meningkatkan dukungan keuangan bagi negara-negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim.

Dalam rangka mengatasi tantangan perubahan iklim dan melindungi lingkungan, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi secara signifikan. Melalui berbagai inisiatif, kebijakan, dan program aksi berkelanjutan, Indonesia berusaha untuk mengurangi emisi dari sektor-sektor utama dan meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Peningkatan konservasi hutan dan pengelolaan lahan berkelanjutan, promosi penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menangani perubahan iklim menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam upaya global untuk mengatasi krisis iklim.

Dengan berkomitmen menurunkan emisi, Indonesia berharap dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya global dalam mencapai tujuan bersama dalam mengurangi emisi GRK dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Selain itu, komitment indonesia untuk menurunkan emisi karena letak Indonesia strategis, Memiliki cadangan karbon dan SDA lain yang tinggi, terdapat pertimbangan Strategis dalam mencapai ketahananiklim terkait air, energi dan pangan, sebagai Partisipasi Indonesia untuk Global, terdapat Potensi Kerjasama, transfer teknologi dan keuangan serta Indonesia memiliki kerentanan terhadap perubahan iklim. Merujuk kepada komitmen untuk menurunkan emisi, Indonesia memiliki rencana untuk menurunkan emisi yaitu :

Untuk mendukung rencana penurunan emisi, pemerintah menerbitkan dan mengesahkan peraturan-peraturan Nasional Terkait CDM,     REDD / Perubahan Iklim. Peraturan yang dimaksud yaitu :

  • 1 Undang Undang    6  Tahun  1994  Tentang  Pengesahan  United  Nations  Framework  Convention  On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)
  • 2 Undang-Undang Nomor  17  Tahun  2004  tentang  Pengesahan  Kyoto  Protocol  to  The  United  Nations Framework Convention On Climate Change
  • 3 Permenhut No       14        tahun  2004   tentang           Tata     Cara    Aforestasi Dan Reforestasi            Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih
  • 4 PP Nomor  6  tahun  2007  tentang  Tata  Hutan  Dan  Penyusunan  Rencana  Pengelolaan  Hutan,  Serta Pemanfaatan Hutan
  • 5 PP No 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan
  • 6 Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
  • 7 Permenhut No  68          tahun  2008   tentang           Penyelenggaraan Demonstration            Activities         Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD)
  • 8 Permenhut No. P.30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD)
  • 9 Permenhut No  36  tahun  2009  tentang  Tata  Cara  Perizinan  Usaha  Pemanfaatan Penyerapan   Dan/Atau   Penyimpanan   Karbon   Pada   Hutan   Produksi   Dan   Hutan Lindung
  • 10 Keputusan Presiden         Republik         Indonesia       Nomor 19        Tahun 2010    Tentang            Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+
  • 11 Instruksi Presiden Republik  Indonesia  Nomor  10  Tahun  2011  Tentang  Penundaan Pemberian  Izin  Baru  Dan  Penyempurnaan  Tata  Kelola  Hutan  Alam  Primer  dan Lahan Gambut
  • 12 Keputusan Presiden         Nomor 25        tahun  2011     tentang           Satuan Tugas  Persiapan Kelembagaan REDD+
  • 13 Peraturan Presiden  Republik     Indonesia       Nomor 61  Tahun        2011 Tentang  Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
  • 14 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
  • 15 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan
  • 16 Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas keputusan Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+)
  • 17 Perpres No 16 tahun 2015 tentang KLHK — ada Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim
  • 18 Forest Reference Emission Level (FREL) Tahun 2015.
  • 19 First Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia Tahun 2016
  • 20 UU No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Natlons Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)

(Dikutip dari Pelatihan karbon oleh M.Ridwan (FCG))

Dalam upaya untuk menurunkan emisi di sektor kehutanan indonesia, pemerintah Indonesia menerbitkan FREL (Forest Reference Emission Level) pada tahun 2016 dan dikirim ke UNFCCC. Penerbitan FREL merupakan tanggung jawab Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) atau lembaga yang berwenang dalam mengelola isu-isu lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. FREL merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan. Penerbitan FREL dilakukan berdasarkan metodologi yang diakui secara internasional, dan dokumen tersebut menyediakan informasi tentang tingkat emisi referensi yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung kemajuan pengurangan emisi dari sektor kehutanan di Indonesia. Penerbitan FREL merupakan salah satu langkah penting dalam melindungi dan mengelola hutan secara berkelanjutan serta memberikan kontribusi positif dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dan pelestarian lingkungan hidup.

Dokumen ini menjadi acuan penting dalam menghitung dan memonitor emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas kehutanan, seperti deforestasi dan degradasi hutan. FREL 2016 berperan sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan, serta menjadi dasar kerjasama internasional dalam mekanisme REDD+ untuk menerima insentif dan dukungan finansial dalam upaya pengurangan emisi dan pelestarian hutan. Emisi terbesar dihasilkan dari deforestasi, dekompoisisi gambut dan degradasi hutan. Berdasarkan data total emisi pada tahun 2020 sekitar 593 juta tCO2e (Dikutip dari Pelatihan karbon oleh M.Ridwan (FCG)).

Isu karbon merupakan salah satu tantangan mendesak yang dihadapi dunia saat ini. Dampak perubahan iklim, yang disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca, telah menjadi ancaman serius bagi lingkungan, kehidupan manusia, dan ekosistem bumi. Namun, saat ini juga merupakan momentum kritis di mana tindakan bersama dari seluruh negara dan masyarakat dunia sangat dibutuhkan untuk menghadapinya. Penting untuk melibatkan semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, maupun individu, dalam upaya mengatasi isu karbon ini. Kita harus mengikuti kebijakan dan regulasi yang mendukung pengurangan emisi, mendorong inovasi teknologi hijau, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengurangi jejak karbon dalam aktivitas sehari-hari. Melalui langkah-langkah pengurangan emisi, pengembangan energi terbarukan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan kesadaran akan pola kehidupan yang ramah lingkungan, kita dapat memberikan kontribusi nyata dalam menjaga keberlanjutan bumi untuk generasi mendatang. Bersama-sama, mari berupaya mewujudkan visi dunia yang lebih hijau dan menahan kenaikan suhu dunia 2o celcius bahkan hingga 1.5o celcius agar bumi dapat terus berkembang secara selaras dengan alam, dan kehidupan bisa berjalan seiring dengan keberlanjutan lingkungan.

 

Ditulis oleh     : Irfan Fadhlillah Nugraha (Ass. Consultant FCG Consulting)

Info                 : fcgconsulting.info@gmail.com

SMS/WA        : 0821-1315-6871

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Latest Comments

No comments to show.